SELAYAR – Denting beduk menggema dari masjid tua Awaluddin di tengah dusun Gantarang Lalang Bata, Jumat pagi yang tak biasa itu. Bukan hanya gema takbir lebaran idul adha yang menggugah suasana, tapi juga desakan jemaah yang semakin padat, bukan untuk berebut makanan, bukan pula untuk tempat duduk terdepan, melainkan sobekan naskah khutbah, Jumat (6/6/2025) lalu.
Ya, naskah khutbah. Digulung rapi, ditulis dua sisi, satu beraksara Arab, satu lagi dalam bahasa Lontara Bugis-Makassar khutbah kuno ini bukan sekadar teks. Bagi warga Gantarang, ini adalah warisan leluhur, pusaka spiritual, dan jimat.
Tradisi Tua, Semangat yang Menyala Kembali
Peristiwa ini hanya terjadi jika dua momentum agung bertepatan pada Hari Raya dan hari Jumat. Terakhir kali itu terjadi, banyak dari anak muda sekarang belum lahir. Maka tak heran jika momen langka ini memancing euforia warga, dari anak kecil hingga sesepuh kampung.
Khutbah khas Gantarang bukan khutbah biasa. Disampaikan oleh khatib yang dijemput secara simbolik layaknya Rasulullah, dengan pedang pusaka tergenggam di tangan kanan, khutbah ini dibuka oleh prosesi rumit yang melibatkan ‘Jibril’ dan dua “amirul mu’minin” sebagai saksi dan penjaga tradisi. Tak ada improvisasi dalam teks, naskahnya tidak pernah berubah sejak masa Datuk Ri Bandang dan Sultan Pangali Patta Raja.
Bukan Sekadar Kertas, Tapi Berkah
Seelah khutbah selesai, naskah digulung kembali dan saat itulah tensi memuncak. Warga berebut mendekat, berharap mendapat secuil sobekan.
“Untuk jimat, untuk keselamatan, untuk rejeki,” bisik seorang warga usia tua sambil menggenggam erat sobekan kecil itu. Ada pula yang, menurut penuturan warga lokal, “merobeknya pakai gigi biar lebih mujarab.”
Tentu, ini bukan sihir. Ini iman bercampur adat. Dalam budaya lokal, simbol spiritual kadang lebih kuat maknanya dari seribu kata nasihat. Sobekan khutbah itu diyakini membawa berkah, karena ia lahir dari khutbah suci dan telah dilafalkan dalam dua bahasa suci, bahasa agama, dan bahasa leluhur.
Spiritualitas, Identitas, dan Perekat Sosial
Tradisi ini bukan hanya tentang keyakinan, tetapi tentang jati diri. Ia menghubungkan generasi hari ini dengan jejak masa lalu, menjaga kesinambungan antara ajaran agama dan budaya lokal.
Di saat banyak komunitas tercerabut dari akar sejarahnya, Gantarang Lalang Bata tetap teguh menjaga identitasnya, dalam bentuk khutbah, dalam bentuk sobekan kertas, bahkan dalam suara tabuhan beduk dan bahasa Lontara yang nyaris punah.
Momen Langka, Warisan yang Hidup
Hari Raya dan Jumat yang bersamaan mungkin hanya akan kembali lagi belasan tahun dari sekarang. Tapi semangatnya, dalam gulungan naskah khutbah dan di hati warga Gantarang, akan terus menyala.
Di kampung kecil ini, khutbah bukan hanya didengar, tapi juga dirasakan, disimpan, dan digigit.
Tidak ada komentar